Slider[Style1]

Style2

Style3[OneLeft]

Style3[OneRight]

Style4

Style5

Ketentuan Tindak Pidana Kejahatan Pengusaha

Pasal 185 UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 88A ayat (3), Pasal 88E ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 ayat (1), atau Pasal 160 ayat (4) dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.


Berikut sebagian uraiannya :

Pasal 68 UUK No. 13 Tahun 2003
Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.

Pasal 80 UUK No. 13 Tahun 2003
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/ buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.

Pasal 88A ayat (3) UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.
(3) Pengusaha wajib membayar upah kepada pekerja/ buruh sesuai dengan kesepakatan.
(4) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum dan pengaturan pengupahan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 88E ayat (2) UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.
(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada perusahaan yang bersangkutan.
(2) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.

Pasal 156  UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.
(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/ atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
(2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

(3) Uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah.

(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat pekerja/buruh diterima bekerja;
c. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Lewat UU Cipta Kerja, Berikut Perubahan UUK 13 Tahun 2003

UU Cipta Kerja mengubah beberapa ketentuan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan :
1. Pelatihan Kerja. Lembaga pelatihan kerja swasta wajib memperoleh izin atau mendaftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota. Dan apabila ada penyertaan modal asing maka perizinan berusaha diterbitkan pemerintah pusat.

2. penempatan tenaga kerja. Lembaga penempatan tenaga kerja swasta harus memenuhi perizinan berusaha dengan memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah pusat yang diatur lebih lanjut dalam PP No.5 Tahun 2021 dan Permenaker No.6 Tahun 2021.

3. Penggunaan tenaga kerja asing (TKA). Sekarang pemberi kerja yang mempekerjakan TKA wajib memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) yang disahkan pemerintah pusat, dikecualikan pada penelitian untuk jangka waktu tertentu.

4. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Jika terjadi pelanggaran terkait jenis pekerjaan, jangka waktu dan perpanjangan atau pembaharuan PKWT, maka sanksi berupa peralihan PKWT menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). PKWTT merupakan perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan Kerja yang bersifat tetap, tidak ada batasan waktu atau bahasa umumnya Karyawan Tetap. UU Ketenagakerjaan melarang masa percobaan dalam mekanisme PKWT. Hal tersebut juga diatur dalam UU Cipta Kerja dan ditegaskan selain masa percobaan itu batal demi hukum, masa kerja tersebut tetap dihitung. Hal baru yang diatur UU Cipta Kerja yakni adanya kompensasi bagi buruh pada saat berakhirnya PKWT atau selesainya suatu pekerjaan tertentu.

5. Outosurcing. Ketentuan alih daya dalam UU Cipta Kerja mengadopsi putusan MK yang intinya pengalihan perlindungan hak pekerja jika terjadi pergantian perusahaan alih daya dan selama objek pekerjaannya tetap ada. UU Cipta Kerja mengatur lebih tegas soal tanggung jawab perusahaan alih daya terhadap perlindungan pekerja baik upah, kesejahteraan, syarat kerja, dan perselisihan yang timbul.

6. waktu kerja, waktu istirahat, dan cuti. Dalam UU Cipta Kerja yakni jam kerja lembur yang tadinya dilakukan paling banyak 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam 1 minggu menjadi 4 jam per hari dan 18 jam per minggu. UU Cipta Kerja tidak mengatur soal waktu istirahat panjang dan diserahkan pengaturannya dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

7. Upah. UU Cipta Kerja masih mengatur upah minimum provinsi dan upah minimum kabupaten/kota, tapi menghapus upah minimum sektoral. UU Cipta Kerja juga mengatur upah minimum untuk usaha mikro dan kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan pengusaha dan pekerja. Soal struktur dan skala upah, UU Cipta Kerja mengatur pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dan melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.

8. PHK. Dalam UU Cipta Kerja pemberi kerja harus memberitahukan maksud dan alasan PHK kepada pekerja dan/atau serikat pekerja. Jika pekerja tidak menolak pemberitahuan itu, maka PHK itu bisa dilakukan. Tapi jika pekerja menolak maka dilakukan perindingan bipartit dan jika tidak mencapai kesepakatan, maka berlanjut sesuai mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Ini Alasan Serikat Pekerja Orientasi Inovatif Menolak Cipta Kerja

Ketua Umum Serikat Pekerja Orientasi Inovatif, Ferlin Gulӧ,
menyampaikan pernyataan sikap dan menyatakan penolakan
terhadap regulasi yang dinilai merugikan buruh dan pekerja,
Selasa (25/02/20). (Foto : Yostinus)
Wartaoke.net, Pekanbaru - Terkait Omnibus Law RUU cipta kerja, Serikat Pekerja Orientasi Inovatif (SPORTIF) menyampaikan pernyataan sikap dan menyatakan penolakan terhadap regulasi yang dinilai merugikan buruh dan pekerja.

Ketua Umum SPORTIF, Ferlin Gulӧ, mengatakan bahwa dalam draf tersebut ada pasal-pasal seperti Pasal 79, Pasal 88C, Pasal 156, Penghapusan Pasal 59, 64 dan 65, dan pasal-pasal lainnya yang sangat merugikan beberapa pihak termasuk buruh atau pekerja dan mengutungkan pihak lain seperti Pengusaha.

RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) ini sebagai salah satu omnibus law yang akan menganulir salah satu Undang – Undang yaitu UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ucapnya.

Ia mengatakan bahwa Terhadap Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja yang termasuk omnibus law adalah peraturan yang dapat mencabut beberapa Undang - Undang sekaligus.

Ketua Umum SPORTIF menilai bahwa dengan dihapusnya Pasal yang mengatur tentang aturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), maka akibatnya pengusaha dapat mengontrak seorang pekerja atau buruh tanpa batas waktu atau bisa dikatakan seorang pekerja bisa dikontrak seumur hidup.

“sebelumnya Pasal 59 telah diatur dengan jelas. Tetapi sekarang di draf RUU Cilaka, pasal tersebut telah dihapus. Sehingga hal ini menimbulkan kepastian dan keamanan kerja semakin jauh dari harapan dan sekaligus menunjukan semakin lepasnya hubungan hukum, jadi ini tidak boleh dibiarkan karena pekerja bisa dikontrak seumur hidup,”jelasnya.

Kemudian, RUU Cilaka juga menghapus izin atau cuti khusus seperti saat haid hari pertama bagi perempuan, menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, istri melahirkan/keguguran kandungan, hingga adanya anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal dunia.

“RUU Cilaka juga menghapus izin atau cuti khusus sebagaimana diatur di Pasal 93 ayat 2 huruf b dan c. Sehingga haknya sebagai seorang perempuan hilang,”ungkap Ferlin Gulӧ.

Omnibus Law Cipta Kerja juga tak memasukkan aturan mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak memberikan pesangon kepada pekerja, menghilangkan upah minimum, penggunaan outsourcing diperluas, lapangan pekerjaan yang tersedia berpotensi diisi Tenaga Kerja Asing dan jaminan sosial terancam hilang

Ferlin Gulӧ memaparkan bahwa RUU Cilaka ini bisa saja membuat nasib outsourcing semakin tak jelas, upah minimum kota atau kabupaten terancam hilang, pekerja bisa dikontrak seumur hidup, hak bagi perempuan untuk cuti karena haid dihilangkan, besaran pesangon PHK semakin berkurang berkurang. (TZEB/YOS)


Pemahaman Antara Penyediaan Jasa Pekerja dan Pemborongan Pekerjaan

(Foto Temamano Zebua)
Berdasarkan Pasal 64 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi:
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.


Penyediaan Jasa Pekerja.
Pada dasarnya Perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh adalah perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan (user) dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang memuat hak dan kewajiban para pihak. Perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh adalah perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang memuat hak dan kewajiban para pihak. Penyediaan Jasa Pekerja dilakukan dengan perintah langsung dari perusahaan yang menggunakan jasa pekerja dan kualifikasi pekerjanya ditentukan oleh perusahaan yang menggunakan jasa pekerja (user). Penyediaan Jasa Pekerja Pekerjanya bekerja langsung di tempat user dan kualifikasi pekerja ditentukan oleh user.


Contoh : PT. SAMA BAIK adalah perusahaan yang bergerak dibidang Perkebunan dan menjalin kerjasama dengan sebuah perusahaan yang bergerak sebagai Penyediaan Jasa Pekerja/ penyalur tenaga kerja untuk menunjang kegiatan produksi. PT. SIAP PERINTAH adalah perusahaan yang bergerak sebagai penyediaan jasa pekerja. Sehingga, PT. SAMA BAIK adalah Pemberi Perintah dan PT. SIAP PERINTAH adalah penerima perintah. Dengan kata lain PT. SAMA BAIK memberi tugas kepada PT. SIAP PERINTAH (bisa dikatakan sebagai kontraktor) untuk menunjang kegiatan produksi di perusahaan.


Pada Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh, setidaknya ada 2 (dua) pihak dalam perjanjian, yaitu:
a.  Perusahaan pemberi pekerjaan, yaitu perusahaan yang menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
b.  Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, yaitu perusahaan yang berbentuk badan hukum yang memenuhi syarat untuk melaksanakan kegiatan jasa penunjang perusahaan pemberi pekerjaan
.


UU No. 13/2003  mengatur secara khusus tentang penyerahan pekerjaan-pekerjaan borongan yang bersifat continue (terus-menerus ada) dan dikerjakan oleh pekerja/buruh perusahaan penerima pemborongan (vendor) atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (service provider) yang menyatu dengan karyawan perusahaan pemberi pekerjaan atau perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh (user) dalam satu proses produksi untuk pelaksanaan pekerjaan suatu jenis produk yang sama dan/atau pada tempat kerja yang sama.

Dalam Pasal 64 UU No. 13/2003 disebutkan, suatu perusahaan (user) dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya (vendor/service provider) melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.

Penyerahan pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dalam Pasal 64 UU No. 13/2003 adalah pekerjaan yang bersifat continue dan/atau terus menerus ada, serta bersifat tetap. Pekerjaan dimaksud dibedakan atas kegiatan-kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi (barang/jasa), yang dalam undang-undang disebut dengan “kegiatan penunjang” [vide Pasal 65 ayat (2) huruf c UU No. 13/2003], dan kegiatan-kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi, atau dalam undang-undang disebut “kegiatan jasa penunjang” [lihat Pasal 66 ayat (1) UU No. 13/2003].
Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja (user/Pemberi kerja) dengan perusahaan penyediaan jasa pekerja wajib memuat pasal tentang upah. Hal ini sesuai dengan pasal 1 ayat 4 dan Pasal 54 ayat 1 huruf e UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 1 ayat 4  berbunyi : “Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.” Pasal 54 ayat 1 huruf e : “Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat: besarnya upah dan cara pembayarannya.”

Pada intinya adalah pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak dimaksudkan untuk pekerjaan yang berhubungan langsung dengan proses produksi saat bekerja pada perusahaan pemberi kerja, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.


Pemborongan Pekerjaan.
Perjanjian pemborongan pekerjaan adalah perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penerima pemborongan yang memuat hak dan kewajiban para pihak.
Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan melalui pemborongan pekerjaan diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya. Hubungan kerja ini dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), dengan ketentuan, perjanjian kerja waktu tertentu harus memuat adanya pengalihan perlindungan hak-hak pekerja yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja.

Apabila ketentuan tentang syarat-syarat pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain dan ketentuan tentang kewajiban perusahaan lain tersebut berbadan hukum tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 yang mengatur bahwa frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.


Dasar Hukum
  • Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
  • Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 27 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
  • Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011.
  • Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.




Jerat Pidana bagi Pimpinan yang Gemar Mengancam Karyawan

Pengancaman yang dilakukan oleh pimpinan Anda, terlepas dari keinginannya untuk meminjam uang perusahaannya sendiri, dilarang dalam Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013 (hal. 39) yang berbunyi: 

1. Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

  1. barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain;
     
  2. barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.

2. Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena.

Lebih lanjut, sebagaimana diuraikan R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal (hal. 238-239), yang harus dibuktikan dalam pasal ini adalah:
  • bahwa ada orang yang dengan melawan hak dipaksa untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu, atau membiarkan sesuatu;
  • paksaan ini dilakukan dengan memakai kekerasan, ataupun ancaman kekerasan, ancaman perbuatan lain, atau ancaman perbuatan lain, baik terhadap orang itu maupun terhadap orang lain.

Berdasarkan pemaparan di atas, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa tindakan pimpinan Anda merupakan suatu tindakan pidana yang dapat dikenai sanksi pidana.


Pengancaman dalam Lingkungan Kerja
Lebih lanjut, dalam Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) disebutkan bahwa:

Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
  • keselamatan dan kesehatan kerja;
  • moral dan kesusilaan, dan
  • perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
 ( Foto : republika.co.id )

Selain itu, pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam pekerja/buruh.[1] Kedua pasal di atas dengan tegas menunjukkan bahwa pimpinan (pengusaha) tidak boleh mengancam pekerjanya atau memperlakukan pekerjanya dengan cara yang tidak baik, karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Atas pemutusan hubungan kerja dengan alasan tersebut, pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, uang penghargaan masa kerja satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan.[2]
 
Hak-hak tersebut dapat Anda terima jika lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial mengabulkan permohonan pemutusan hubungan kerja Anda. Namun apabila pengusaha dinyatakan tidak melakukan penganiayaan, penghinaan secara kasar, atau pengancaman pekerja/buruh oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pekerja/buruh yang bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja.[3]

Dengan demikian, sebelum mengajukan pemutusan hubungan kerja, Anda perlu mempertimbangkan dengan matang ketentuan Pasal 169 ayat (3) UU Ketenagakerjaan di atas. Saran kami, Anda harus membuat permohonan pemutusan hubungan kerja secara benar dan lengkap serta menyertakan seluruh bukti-bukti yang ada. Bukti-bukti tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya di hadapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial agar dapat dikabulkan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:
  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  • Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Putusan:
  • Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013.

Referensi:
R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. Bogor: Politeia, 1994.

[1] Pasal 169 ayat (1) huruf a UU Ketenagakerjaan
[2] Pasal 169 ayat (2) jo. Pasal 169 ayat (1) huruf a UU Ketenagakerjaan
[3] Pasal 169 ayat (3) jo. Pasal 169 ayat (1) huruf a UU Ketenagakerjaan


Sumber : Hukumonline

Top