Pengusaha wajib membayar Upah pada waktu yang telah diperjanjikan antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh. Jika pengusaha telat membayarkan upah pekerja, pengusaha akan dikenakan denda.
Akan tetapi, perlu Anda ketahui bahwa ada beberapa hal yang dapat diperhitungkan dengan upah, salah satunya utang atau cicilan utang pekerja/buruh kepada pengusaha. Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk pembayaran utang atau cicilan utang Pekerja/ Buruh harus dilakukan berdasarkan kesepakatan tertulis atau perjanjian tertulis. Selain itu, jumlah keseluruhan pemotongan Upah paling banyak 50% (lima puluh persen) dari setiap pembayaran Upah yang diterima Pekerja/Buruh.
Pengusaha yang melakukan pemotongan upah lebih dari 50% (lima puluh persen) dari setiap pembayaran upah yang diterima Pekerja/Buruh akan dikenakan sanksi administrasi.
Jika telat membayar upah saja dikenakan denda, serta pemotongan upah juga tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari setiap pembayaran upah yang diterima pekerja, maka penahanan gaji (kami asumsikan seluruh gaji) juga tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Silakan Anda simak ulasan di bawah ini :
Dalam hal ini, kami asumsikan bahwa gaji ditahan karena alasan utang piutang adalah bahwa Anda memiliki utang kepada perusahaan.
Pada dasarnya, gaji atau upah adalah hak dari pekerja,
sebagaimana dikatakan dalam Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”):
Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (“PP Pengupahan”) sebagai berikut:
Hak Pekerja/Buruh atas Upah timbul pada saat terjadi Hubungan Kerja antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha dan berakhir pada saat putusnya Hubungan Kerja.
Pengusaha wajib membayar Upah pada waktu yang telah diperjanjikan antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh.[1]
Pembayaran Upah oleh Pengusaha dilakukan dalam jangka waktu paling cepat seminggu 1 (satu) kali atau paling lambat sebulan 1 (satu) kali kecuali bila Perjanjian Kerja untuk waktu kurang dari satu minggu.[2]
Jika pengusaha telat membayarkan upah pekerja, pengusaha akan dikenakan denda sebagaimana diatur dalam Pasal 95 ayat (2) UU Ketenagakerjaan:
Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
Persentase denda ini diatur oleh pemerintah dalam Pasal 55 PP Pengupahan sebagai berikut:
(1) Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 yang terlambat membayar dan/atau tidak membayar Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dikenai denda, dengan ketentuan:
a. mulai dari hari keempat sampai hari kedelapan terhitung tanggal seharusnya Upah dibayar, dikenakan denda sebesar 5% (lima persen) untuk setiap hari keterlambatan dari Upah yang seharusnya dibayarkan;
b. sesudah hari kedelapan, apabila Upah masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a ditambah 1% (satu persen) untuk setiap hari keterlambatan dengan ketentuan 1 (satu) bulan tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari Upah yang seharusnya dibayarkan; dan
c. sesudah sebulan, apabila Upah masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b ditambah bunga sebesar suku bunga yang berlaku pada bank pemerintah.
(2) Pengenaan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban Pengusaha untuk tetap membayar Upah kepada Pekerja/Buruh.
Akan tetapi, perlu Anda ketahui bahwa ada beberapa hal yang dapat diperhitungkan dengan upah. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan Upah terdiri atas:[3]
![]() |
Ilustrasi - Gaji |
Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (“PP Pengupahan”) sebagai berikut:
Hak Pekerja/Buruh atas Upah timbul pada saat terjadi Hubungan Kerja antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha dan berakhir pada saat putusnya Hubungan Kerja.
Pengusaha wajib membayar Upah pada waktu yang telah diperjanjikan antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh.[1]
Pembayaran Upah oleh Pengusaha dilakukan dalam jangka waktu paling cepat seminggu 1 (satu) kali atau paling lambat sebulan 1 (satu) kali kecuali bila Perjanjian Kerja untuk waktu kurang dari satu minggu.[2]
Jika pengusaha telat membayarkan upah pekerja, pengusaha akan dikenakan denda sebagaimana diatur dalam Pasal 95 ayat (2) UU Ketenagakerjaan:
Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
Persentase denda ini diatur oleh pemerintah dalam Pasal 55 PP Pengupahan sebagai berikut:
(1) Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 yang terlambat membayar dan/atau tidak membayar Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dikenai denda, dengan ketentuan:
a. mulai dari hari keempat sampai hari kedelapan terhitung tanggal seharusnya Upah dibayar, dikenakan denda sebesar 5% (lima persen) untuk setiap hari keterlambatan dari Upah yang seharusnya dibayarkan;
b. sesudah hari kedelapan, apabila Upah masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a ditambah 1% (satu persen) untuk setiap hari keterlambatan dengan ketentuan 1 (satu) bulan tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari Upah yang seharusnya dibayarkan; dan
c. sesudah sebulan, apabila Upah masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b ditambah bunga sebesar suku bunga yang berlaku pada bank pemerintah.
(2) Pengenaan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban Pengusaha untuk tetap membayar Upah kepada Pekerja/Buruh.
Akan tetapi, perlu Anda ketahui bahwa ada beberapa hal yang dapat diperhitungkan dengan upah. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan Upah terdiri atas:[3]
a. denda;
b. ganti rugi;
c. pemotongan Upah untuk pihak ketiga;
d. uang muka Upah;
e. sewa rumah dan/atau sewa barang-barang milik Perusahaan yang disewakan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh;
f. utang atau cicilan utang Pekerja/Buruh kepada Pengusaha; dan/atau
g. kelebihan pembayaran Upah.
Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk pembayaran utang atau cicilan utang Pekerja/ Buruh harus dilakukan berdasarkan kesepakatan tertulis atau perjanjian tertulis.[4] Jumlah keseluruhan pemotongan Upah paling banyak 50% (lima puluh persen) dari setiap pembayaran Upah yang diterima Pekerja/Buruh.[5]
Pengusaha yang melakukan pemotongan upah lebih dari 50% (lima puluh persen) dari setiap pembayaran upah yang diterima Pekerja/Buruh akan dikenakan sanksi administrasi berupa:[6]
a. teguran tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha;
c. penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi; dan
d. pembekuan kegiatan usaha.
Oleh karena itu, pada dasarnya pengusaha dapat memperhitungkan utang pekerja/buruh dengan upah pekerja/buruh tersebut. Tetapi, itu pun tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari setiap pembayaran upah yang diterima pekerja. Ini berarti peraturan perundang-undangan memberikan perlindungan kepada pekerja agar pekerja tidak kehilangan semua upah yang diterimanya dan untuk menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja.
Jika telat membayar upah saja dikenakan denda, serta pemotongan upah juga tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari setiap pembayaran upah yang seharusnya diterima, maka penahanan gaji (kami asumsikan seluruh gaji) juga tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dasar hukum:
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
- Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
________________
[1] Pasal 18 ayat (1) PP Pengupahan
[2] Pasal 19 PP Pengupahan
[3] Pasal 51 ayat (1) PP Pengupahan
[4] Pasal 57 ayat (5) huruf a PP Pengupahan
[5] Pasal 58 PP Pengupahan
[6] Pasal 59 ayat (1) huruf f jo. Pasal 59 ayat (2) PP Pengupahan
Sumber : Hukum Online
Tidak ada komentar: